Blurb:

          Ibu menarik napas dalam-dalam, seperti menyadari kesalahannya yang membiarkanku bertanya itu.
          “Banyak orang lebih memerlukannya,” jawab Ibu, setengah hati.
          “Buat apa dia menyelamatkan orang kalau kita saja tidak dia pikirkan?”
          “Itulah sulitnya menjadi pahlawan.” Ibu menyugar rambutku, memberiku ketenangan seolah-olah dia sebenarnya lebih memerlukan itu. “Kadang kita tidak tahu apa yang sebenarnya berharga sebelum waktunya tiba.”
          Pahlawan harus siap kehilangan sesuatu. Aku ingat Ibu selalu mengatakan itu. Kabar buruknya, itu telah terjadi.
Di sini, tempat terdekatku, kami telah kehilangan senyum Ibu.
          Mengingat semua canda tawa yang berhasil kami ukir selama keluarga kami bersama, Ibu pasti tidak ingin kehilangan canda tawa itu. Ibu bukanlah satu-satunya yang tidak ingin kehilangan itu. Aku juga tidak mau. Barangkali di detik ketika akhirnya Ayah jauh dari kami, Ayah juga menyadari bahwa dia tidak pernah mau terpisah dari kami. Ayah tidak pernah bisa apa-apa tanpa Ibu. Jauh di lubuk hatinya, Ayah pasti mengerti itu.