Blurb:

          Sekali lagi aku merasakan ada lubang menganga di dada. Menarik ke dalam kekecewaan tak berujung. Langkah kakiku yang semula lunglai karena masih tumbuh secuil harapan, setapak demi setapak berubah menjadi lebih tegas, seiring dengan menghilangnya harapan itu. Winarsih gadis kuat! Harus terus melangkah, karena kehidupan tak akan berhenti karena ketidaksetiaan Gie. Cukup air mata ini untuk Gie!
          Namun, sekali lagi, aku menolehkan kepala, sesaat sebelum kaki ini menginjak tangga pesawat. Fix! Tak ada! Pulanglah kau, Win. Baiklah, aku pulang dan tak akan kutolehkan kepala kepadamu, Gie, janjiku dalam hati. Dengan kepala penuh monolog, kudekap erat setangkai bunga tulip putih yang diberikan seseorang di bandara tadi.
          “Semoga kau selalu ingat, bahwa ada secuil kenanganmu di negeri ini. Apakah itu melukai atau tidak, tetap saja merupakan bagian dari dirimu,” kata Jean, sahabatku selama tugas belajar di Belanda.