Blurb:

          Bagi orang seperti kami, hujan deras adalah paradoks. Bapak tidak perlu terlalu jauh memaksa motor tuanya memanggul gerobak mi bakso. Ia pulang membawa laba yang lebih baik dari hari biasanya, sementara istri dan kedua putrinya di rumah kelimpungan menadah bocor yang kian parah. Aku hanya bisa pasrah mengangkut semua buku pelajaranku yang basah ke ruang tamu tanpa berkata apa-apa.
          Dua belas tahun umurku sudah cukup mengakrabi kekurangan dan kesempitan. Bapak bukan tak acuh pada tangis si bungsu yang kasurnya basah atau sepatuku yang tumitnya bolong. Laba lebih itu telah ditunggu oleh beras yang habis, obatnya Ibu, dan persiapan adik masuk SD. Aku nyaris tak pernah bermimpi menginginkan sesuatu.