Blurb:

          Tiba-tiba Putri berdiri tidak terima. “Bapak ngomong gini karena enggak percaya sama Putri kalau Putri bisa, kan? Bapak ini mbok, ya, didukung anaknya mau jadi dokter gitu, lo. Aku usaha kayak gini juga karena aku pingin. Kupikir selama ini Bapak selalu dukung aku, ternyata enggak ada bedanya. Sama-sama ngeraguin kemampuanku. Apa, sih, susahnya ngedukung?” Putri tidak bisa menahan amarahnya. Tentu ini bukan tujuan kalimat bapaknya. Namun, kalimat Putri rasanya sudah kelewatan.
          “Kamu ini, ya. Bapak bilang baik-baik gini kamu legowo. Kamu mengandalkan usahamu tok. Seakan kamu ndak punya Tuhan!”
          Putri diam. Ia pergi ke kamar dengan membanting pintu. Ia tersedu di sana. Di kamar tempat beberapa minggu waktunya berputar begitu cepat. Tidak dikenalinya siang atau malam. Tak pernah disentuhnya kasur dengan tenang. Tumpukan buku beratus-ratus halaman hanya meratapinya yang menangis malam itu. Entah berapa sampah bolpoin dan kertas menjunjung di sampah sudut kamar. Ternyata perjuangan ini membuatnya lupa untuk hidup.